ARCHA BELLA'S ADVENTURE

Heri Chandra Santoso Cahaya Sastra Di Tengah Masyarakat Lereng Medini

“Sudah, intinya ini beritanya tentang apa sih, males baca…!”,sekelebat tulisan ini terbaca dikolom komen media sosial.

Seseorang bernama Heri Chandra Santoso bisa jadi akan menjewer telinga penulis komen diatas jika berada disampingnya. Mau tau alasannya?

Beberapa kali tulisan seperti ini terbaca dikolom komen saat saya sedang menyimak sebuah tayangan video yang dibagikan disosial media. Padahal dibawahnya tertulis secara terperinci keterangan yang melengkapi penjelasan dari video tersebut. Sebenarnya cukup luangkan waktu sejenak menonton video dan menuntaskan membaca takarirnya. Alih-alih menyempatkan waktu untuk menyimak, malah dengan mudahnya melempar komen seperti diatas tadi. Reaksi demikian tidak hanya dijumpai pada tayangan berita politik atau ekonomi saja yang cenderung agak berat, bahkan yang beraroma gosip selebritis pun , mereka enggan menyimak takarir yang disematkan.

Dalam hati saya mendengus, sepertinya generasi milenial dan generasi Z yang kerap menjadi biang kerok rendahnya semangat literasi. Memang ada beberapa elemen yang patut dibanggakan dari Indonesia,namun ketika berbicara soal sastra, literasinya masih sangat kurang dan bisa dikategorikan dalam kondisi darurat. Ditambah dengan gempuran teknologi AI (Artificial Intelligence) menyebabkan semakin kendornya minat baca anak-anak muda.Mereka mengandalkan perintah-perintah pada situs dan aplikasi piranti pintarnya. Padahal kecerdasan buatan ternyata tidak cukup hebat jika disandingkan dengan buah imajinasi manusia terlebih jika dikaitkan dengan karya sastra. Ada ungkapan perasaan yang sulit terwakilkan oleh teknologi secanggih apapun.

paulo coelho
Kenapa kita mesti membaca? Karena di baliknya ada orang-orang yang menghendaki orang-orang tak perlu baca karena berbahaya.

Bicara tentang “kesusastraan” mungkin dirasa terlalu berat bagi awam. Padahal sastra merupakan  jembatan dalam menyelami peradaban. Sastra pada awalnya berasal dari cerita yang diceritakan dalam kelompok pemburu-pengumpul melalui tradisi lisan, termasuk mitos dan cerita rakyat . Aktivitas saling bercerita ini muncul ketika pikiran manusia berevolusi untuk menerapkan penalaran sebab akibat dan menyusun peristiwa ke dalam narasi dan bahasa, sehingga memungkinkan manusia purba untuk berbagi informasi satu sama lain. Tetapi masyarakat awam terlanjur mengecap bahwa sastra hanya milik masyarakat perkotaan yang berpendidikan serta berpikiran modern. Padahal justru karya-karya sastra acapkali lahir dari peristiwa ditempat-tempat yang jauh dari keramaian. Adanya keinginan manusia untuk mengungkapkan tujuan keberadaan dirinya membuat terciptanya karya sastra.

Kembali ke nasib kesusastraan dan minat literasi anak-anak muda di Indonesia yang cukup memprihatinkan akhir-akhir ini cukup menyumbang keresahan akan gambaran masa depan bangsa. Menggantungkan pada pemerintah untuk pendanaan dalam menghidupkan sastra dikalangan anak-anak muda juga harus didukung oleh peran serta masyarakat. Bukan hal mudah untuk menata kembali sendi-sendi kepribadian bangsa yang mulai bergeser menjadi egosentris melalui sentuhan sisi humaniora lewat media karya sastra. Diperlukan sosok panutan yang berkesadaran tinggi dan peka terhadap fenomena akan rendahnya minat baca. Kehadiran anak muda brilian yang berhasil membangkitkan geliat sastra dari Lereng Medini, Desa Boja yang bernama Heri Chandra Santoso telah memberi angin segar bagi masyarakat sekitarnya sehingga gemar membaca.

Pahlawan Sastra dari  Desa Boja, Kendal Jawa Tengah

 

heri chandra santosa penerima satu indonesia awards
Heri Chandra Santoso penerima Satu Indonesia Awards 2011 (Source: FB Semangat Astra Terpadu)

Di sebuah wilayah desa di Kendal, Jawa Tengah menyeruak kiprah sesosok anak muda yang menorehkan jejak cemerlang dibidang sastra. Dialah Heri Chandra Santoso, pria kelahiran Kendal 22 Mei 1982 , seorang jurnalis dan alumnus Fakultas Sastra (kini menjadi Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Diponegoro Semarang. Pria yang murah senyum dengan perawakan kecil ini begitu gigih menghidupkan geliat sastra hingga ke pelosok desa. Dimata Heri, mempelajari sastra adalah hak semua orang  tanpa terkecuali termasuk masyarakat desa. Baginya sastra bukan hanya milik orang kota atau seniman sastra saja. Kiprahnya bermula dari sebuah pengalaman lampau ketika Heri mendengar percakapan antara seorang bapak dan anaknya yang kebetulan adalah tetangganya sendiri. Anak tersebut ingin memiliki buku dan meminta kepada bapaknya untuk dibelikan.

‘’Untuk makan saja sulit, nduk. Lebih penting perutmu terisi nasi, daripada uang yang tak seberapa ini kubelikan buku.’’

‘’Yo…weslah pak, kalau memang tak ada duit, rak papa kok,’’ si anak perempuan kelas empat SD itu kemudian berlalu, dengan raut wajah murung.

Percakapan itu ternyata mengganggu tidur dan juga batinnya. Kondisi serupa bukan saja dialami gadis kecil itu, tapi juga dialami anak-anak lain di desanya. Buku menjadi barang yang sangat mewah dan mahal, tak terjangkau dengan pendapatan orangtua mereka. Penghasilan yang tak seberapa sebagai petani, pedagang kecil dan buruh pabrik sebagai mata pencarian mayoritas warga desa, lebih diproritaskan untuk mengisi perut dan melanjutkan hidup.

Kenyataan yang dia dapati melihat anak-anak di desanya sulit mendapatkan buku membuat pikirannya gundah. Kegundahannya dia ungkapkan kepada Sigit Susanto, sobat karibnya yang tinggal nun jauh di benua Eropa. Tekad kuatnya cuma satu , Heri fokus untuk menghidupkan kembali sastra yang hampir kehilangan “nyawa”. Lokasi Lereng gunung Medini, Kecamatan Boja, Kendal, Jawa Tengah yang minim akses informasi dan komunikasi tidak menyurutkan langkahnya untuk membangkitkan minat literasi.Ternyata sobatnya pun memiliki kegelisahan serupa. Dari sebuah diskusi kecil, ia pun menggagas suatu wadah yang semula diberi nama Pondok Maos Guyub bersama temannya Sigit yang beristrikan bule dan bermukim di Swiss. Lantas Heri mendirikan Komunitas Lereng Medini (KLM) yaitu sebuah komunitas yang konsen memberi ruang masyarakat desa disekitarnya untuk belajar sastra dan budaya. KLM menjadi saksi kolaborasi Heri dan Sigit agar masyarakat dapat ‘berbicara’ tentang sastra.

Cikal Bakal Pondok Maos Guyub

Sebelum KLM didirikan di tahun 2008, sebenarnya Heri sudah merintis dengan membuka perpustakaan gratis bernama “Pondok Maos Guyub” di rumah milik sahabatnya, Sigit Susanto di Jalan Raya Bebengan 221, Desa Bebengan Boja.  Sigit juga seorang aktivis sastra dan penulis asli Bajo sekaligus moderator milis “Apresiasi Sastra” dengan berbagai karya telah diterbitkan. Salah satu karyanya  berjudul “Kesetrum Cinta”, merupakan autobiografi kisah hidupnya sebagai seorang Jawa yang menikahi perempuan Swiss. (Sigit kini bermukim di Swiss dan sesekali menjadi dalang menggunakan bahasa Jerman dalam pentasnya).

 

kesetrum cinta
Buku Kesetrum Cinta karya Sigit Susanto. (Source: IG @klmboja)

 

“Sebelum belajar sastra, kita perkenalkan mereka dengan bacaan,” kata Heri sambil berbinar-binar.

“Perpustakaan bernama “ Pondok Maos Guyub” ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi orang-orang yang berminat untuk belajar sastra secara gratis. Tidak hanya karya sastra lokal atau Indonesia saja yang dipelajari, juga karya sastra asing ikut menjadi sasaran”, imbuhnya.

Ketika berada di perpustakaan “Pondok Maos Guyub” aroma kesederhanaan begitu kental terasa. ”Pondok Maos Guyub” diambil dari bahasa lokal (Jawa) yang berarti tempat/gubug yang bisa dimanfaatkan untuk rukun (guyub) membaca (maos). Perpustakaan tersebut tidak besar, hanya satu ruangan yang dindingnya dipenuhi oleh rak buku dan potret para sastrawan. Sekilas terlihat beberapa karya sastra dari para sastrawan Indonesia seperti Ahmad Tohari, maupun sastrawan mancanegara seperti Ernest Hemingway dan Frans Kafka serta buku-buku peraih nobel.

 

pondok maos guyub
Kesederhanaan Pondok Maos Guyub yang sarat ilmu. (Source: IG @klmboja)

Dengan keterbatasan akses informasi dan komunikasi , Heri mengakalinya dengan memboyong semua koleksi buku-buku yang ia punya ke Desa Boja. Dimulai dengan memperkenalkan berbagai macam jenis bacaan, kolaborasi  Heri-Sigit-KLM yang solid membuat kelompok baca, secara perlahan namun pasti menggugah masyarakat sekitar terbiasa membaca. Semakin hari Pondok Maos semakin memancing antusiasme warga. Rata-rata sekitar 50-an warga perharinya datang ke Pondok Maos Guyub sehingga membuat Heri dan Sigit gembira karena langkah kecilnya untuk membangkitkan minat literasi diminati warga.

‘’Harus ada ruang untuk bersapa, berbagi pengalaman, dan ruang untuk belajar bersama,’’ ujar Heri yang masih merasa kurang puas karena Pondok Maos lama-kelamaan hanya seperti museum saja.

Tidak berhenti disitu saja, setelah mendirikan Pondok Maos Guyub, Heri kembali melakukan aksi lainnya untuk menghidupkan sastra di Desa Boja. “Sastra sepeda” adalah inovasi yang dilakukan oleh dua sahabat tersebut dengan bersepeda keliling kampung sambil memperkenalkan karya sastra. Saya jadi membayangkan bagaimana Heri dengan senyum ramahnya berkeliling ke desa-desa, sambil membawa sekeranjang buku, kemudian berhenti sejenak ditengah kerumunan anak-anak yang   sedang bermain ‘engklek’. Membagikan buku-buku yang menarik untuk dibaca sambil menceritakan sekelumit sinopsisnya , melayani celoteh anak-anak yang gembira menyambut kedatangannya sambil ‘ngadem’ dibawah pohon. Aaaah,…hati saya pun serasa ikut tersenyum.

kegiatan reading group komunitas lereng medini
Kegiatan reading group yang digelar Heri dan Komunitas Lereng Medini di tengah hutan karet PTPN IX, Merbuh, Singorojo, Kendal.

Sejatinya banyak sekali fungsi sastra dalam kehidupan yang mungkin masih belum diketahui oleh masyarakat luas, di antaranya fungsi rekreatif yang memberi rasa senang, gembira serta menghibur; fungsi didaktif, yaitu menjadi sarana atau media untuk menyampaikan nilai-nilai kebaikan; fungsi estetis yang memberi keindahan, baik dari bahasa hingga alur cerita serta fungsi moralitas maupun religius. Apalagi jika mengintip bahasa-bahasa yang terserak dikomen sosial media sekarang ini. Begitu jamaknya ditemukan ujaran kebencian, saling mengintimidasi , mencemooh satu sama lain dengan ungkapan-ungkapan kasar dan tak berbudaya. Semakin jauh rasanya mereka tersentuh dengan indahnya karya-karya sastra yang seharusnya menjadi ‘santapan’ mereka sehari-hari. Apalagi ungkapan-ungkapan tersebut biasanya dilontarkan oleh bocil-bocil dan murid-murid yang masih bersekolah ditingkat dasar maupun menengah. Padahal dengan membaca karya-karya sastra bisa menjadi katarsis dari pergulatan batin atau ketegangan emosional dalam diri seseorang. Merawat kesehatan mental yang sekarang sedang gencar didengung-dengungkan sebenarnya cukup mudah jika tekun membaca dan menulis untuk dijadikan terapi penyembuhan bagi jiwa-jiwa yang tertekan.

 

Melalui Komunitas Lereng Medini, Heri Membawa “Cahaya” Melalui Sastra

Semakin hari aksinya semakin banyak menarik minat warga hingga dimuat di media massa. Tanpa diduga semakin banyak pihak dari luar Boja yang kemudian berdatangan dan sukarela memberikan bantuan berupa buku-buku. Bantuan itu menambah koleksi buku yang semula hanya 100-an judul buku, kini koleksinya mencapai lebih dari 3.000 judul buku.

Pada 2008, Heri dan Sigit kemudian mengubah nama taman bacaan itu menjadi Komunitas Lereng Medini (KLM). Nama Medini sendiri diambil dari nama perkebunan teh Medini yang berada di lereng sebelah barat Gunung Ungaran. Gagasan ini muncul tak sengaja saat mereka mengobrol di sebuah acara Parade Obrolan Sastra pada bulan Mei tahun 2008 di Pondok Maos Guyub. Akhirnya pada tanggal 3 Agustus 2008, Heri dan Sigit mengubah nama Pondok Maos Guyub menjadi Komunitas Lereng Medini (KLM).

KLM bermetamorfosa, dari taman bacaan dan perpustakaan gratis menjadi komunitas pencinta dan penikmat sastra. Beragam acara seperti bedah karya sastra, musikalisasi puisi, pentas teater, bulan bahasa, dan parade sastra, menjadi pusat kegiatan KLM. Beragam acara seputar sastra pun diadakan, misalnya bedah buku yang dilakukan rutin setiap sebulan sekali, musikalisasi puisi, klub baca, kegiatan Jemuran Puisi, hingga Wakul Pustaka.

Heri memaparkan berbagai kegiatan untuk event mingguan. Setiap Sabtu sore, KLM menggelar acara Reading Group atau klub baca yang diikuti para pelajar mulai dari SD, SMP, SMA, mahasiswa hingga masyarakat umum. Para peserta bisa melakukan kajian sastra (bisa novel berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing) baik secara mandiri atau membentuk grup baca untuk bersama-sama mendalami karya sastra tanpa merasa dikejar waktu. Tak cukup sampai disitu ,  selain kegiatan untuk pelajar dan mahasiswa, KLM juga memiliki program literasi untuk anak. Hampir setiap minggu beberapa anak mulai merapat ke Pondok Baca Ajar Kampung Slamet Desa Meteseh, Boja, Kendal, Jateng mengikuti kelas membaca (reading group) dengan tujuan mengajak anak-anak desa Boja  menghidupkan kembali  “nyawa” sastra .

 

komunitas lereng medini
Kegiatan sastra di Komunitas Lereng Medini (Source: IG @klmboja)

 

Yang menarik ada kegiatan yang diberi nama Jemuran Puisi dan Wakul Pustaka.

‘’Kegiatan Jemuran Puisi, adalah cara mendekatkan puisi kepada masyarakat. Lembaran-lembaran puisi kita jemur layaknya menjemur pakaian, juga kita tempel di pohon, siapapun boleh memungut dan membacanya,’’ tutur pria yang juga menjadi pemimpin redaksi di sebuah radio swasta di Kota Semarang ini.

Wakul Pustaka yaitu kegiatan menaruh buku didalam wadah nasi terbuat dari anyaman bambu dan meletakkannya di warung-warung yang ada di seputaran Boja. Konsepnya sangat unik yaitu buku diletakkan di dalam wakul (bakul nasi dalam bahasa Jawa). Bakul-bakul ini lantas dititipkan di warung-warung warga yang mau menerima. Setiap 1-2 bulan sekali, akan diganti dengan buku-buku baru. Agar tidak bosan, judul buku divariasi dengan buku lainnya setelah beberapa minggu berselang. Ide yang mendasarinya adalah untuk mengalihkan perhatian anak-anak dari gawai terus-menerus sepanjang waktu.

 

“Daripada menunggu atau main HP, mari baca buku!” slogan Heri dalam menyemangati Wakul Pustaka.

‘’Respon pengelola warung maupun pelanggannya cukup bagus. Bahkan, kami mendapat permintaan buku-buku bertema anak, karena anaknya jadi gemar membaca,’’ tambahnya berapi-api.

 

Kenapa Bakul? Tak lain karena ‘bakul’ adalah simbol literasi dalam menyimpan nilai-nilai kearifan. Dalam budaya Jawa, bakul menjadi alat yang serbaguna didapur keluarga. Tidak cuma menampung nasi setelah matang dari dandang, bakul juga kerap digunakan sebagai wadah bermacam benda, termasuk buah, sayur hingga umbi-umbian hasil pekarangan. Bakul juga sebagai media yang menyiratkan pesan bahwa asupan gizi berupa ilmu pengetahuan melalui buku tak kalah penting dari gizi dan asupan makanan untuk mengenyangkan perut. Kearifan lokal terwakili dengan simbolisme bakul yang tetap eksis ditengah gempuran teknologi serba digital penanak nasi seperti rice cooker dan magic com. Jika mau sedikit merenung, asupan gizi tidak hanya lewat makanan yang mengenyangkan saja, gizi untuk otak yang memompa intelektualitas dalam bertutur kata dan berperilaku juga harus dipenuhi suplainya. Maukah kita membiarkan generasi muda menjadi kurang berbudaya akibat minimnya asupan ilmu pengetahuan dan budi pekerti identitas warisan adiluhung nenek moyang?

 

wakul pustaka
Filosofi tentang Bakul yang menginspirasi Wakul Pustaka. (Source: IG @klmboja)

 

KLM juga mengadakan acara Kemah Sastra yang diikuti oleh banyak pelajar dan mahasiswa. Serta diisi oleh sejumlah maestro sastra.

“Sejak kemah sastra digelar, kami telah menghadirkan sejumlah maestro sastra, seperti sastrawan Eka Kurniawan, F Rahardi, Gus TF Sakai, Martin Aleida, Ahmadun Y Herfanda, Korie Layun Rampan, Iman Budi Santosa, Bandung Mawardi, dan Triyanto Triwikromo,’’ imbuhnya.

 

mengenali kampung halaman
Mengenali kampung halaman diselingi membaca,melatih kepekaan. (Source: IG@klmboja)

Selain membaca, anak-anak juga diajak untuk belajar mengenali  kampung halaman dan kehidupan orang-orangnya. Kegiatan ini sangat berarti untuk menggugah kepekaan dan rasa “tepo seliro” sedari dini.  Mereka menyusuri pedesaan, menginjak lumpur, menjelajahi sungai, meniti pematang  sawah, memandikan kerbau, sambil sesekali diselingi dengan membaca. KLM juga menerbitkan buku-buku berupa antologi puisi dan cerpen karya para penulis pemula, yang sebagian besar pernah terlibat dalam beragam kegiatan sastra yang diadakan oleh KLM. Hingga tahun 2022, tercatat sudah belasan buku yang diterbitkan, di antaranya Donat untuk Kusno: Antologi Puisi dan Cerpen (2008), dan Kumpulan Catatan Perjalanan Sastra Sepeda di Boja (2009) yang berisi catatan kegiatan masyarakat ketika diajak bersepeda dan mengunjungi tempat-tempat tertentu, kemudian dituliskan.

Heri yang pernah meraih penghargaan Prasidatama dari Balai Bahasa Jawa Tengah sebagai Pegiat Bahasa dan Sastra tahun 2014 ini pun sadar bahwa membangun sebuah komunitas harus didukung jejaring dan lingkungan sekitar. Dengan segala keterbatasannya, KLM berusaha merangsang pelajar untuk mempelajari sastra. Dilandasi prinsip sederhana, yakni mengenalkan sastra, menikmati, dan berkarya.

 “Prinsip gotong royong menjadi pijakan kami. Kami sadar, kami tak kan bisa berbuat banyak bila kami sendirian,” tegas Heri.

 

Tantangan Jaman Yang Dihadapi Heri Bukan Penghalang Untuk Merawat Sastra 

Selama hampir 16 tahun , Heri mengakui bahwa tidak mudah merawat idealismenya dibidang sastra. Dibutuhkan dedikasi luar biasa untuk keberlangsungan minat sastra yang telah dirintisnya dengan keterbatasan, tapi tekad yang menyala-nyala.  Hal itu bukan berarti mustahil  bagi Heri untuk mengusahakan agar sastra bisa dicintai dan semakin berkembang luas di masyarakat Lereng Medini. Tak heran berkat kegigihan dan kecintaannya terhadap sastra bersama KLM tersebut, Heri meraih penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2011 dalam kategori Pendidikan.

Apresiasi Satu Indonesia Awards merupakan bentuk apresiasi dari Astra untuk generasi muda, baik individu maupun kelompok, yang telah menunjukkan kepemimpinan dan melakukan perubahan nyata demi berbagi manfaat dengan masyarakat sekitarnya. Terutama di bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi. Melalui program ini, Astra juga mendorong para anak muda yang terlibat agar bisa memberikan dampak positif yang lebih besar dan kontribusi yang berkelanjutan pada usaha-usaha pembangunan di daerahnya.

Kisah inspiratif Komunitas Lereng Medini dan perjuangan Heri serta Sigit dalam memasyarakatkan sastra di desa Boja adalah bukti bahwa potensi sastra tidak mengenal strata,umur dan aspek geografis. Melalui Komunitas Lereng Medini, Heri serta Sigit terus  bersemangat membawa cahaya melalui sastra hingga ke sudut terpencil disebuah desa di Jawa Tengah.

‘’Saya mengakui, inilah sulitnya berjalan di jalan kesunyian. Tak mudah mencari orang-orang militan, yang idealis bertahan di jalan kesunyian. Tapi, saya yakin, masih ada orang-orang militan, dan suatu saat saya pasti akan menemukannya,” ucapnya serius.

Kegiatan di KML bisa dikatakan nirlaba yang jauh dari keuntungan materi. Kendala utamanya tentu saja faktor regenerasi dan kaderisasi bagi para relawannya. Heri mengakui bahwa kecenderungan para relawan lebih memilih bekerja ditempat lain setelah lulus kuliah atau sekolah demi mendapatkan gaji layaknya bekerja dikantor. Obsesinya ingin  menjadikan KLM lebih mapan secara organisasi.

‘’Saya ingin komunitas ini menjadi organisasi yang lebih mapan, misalnya dalam bentuk yayasan yang berbadan hukum, agar dapat mengatur organisasinya lebih rapi dan mampu menggaji para pengelola dan pegiat didalamnya,’’ tutur Heri penuh harap.

Heri pun berikhtiar mencari format baru, untuk menjangkau kalangan milenial lebih luas, agar bisa mencintai dan menikmati sastra dengan leluasa. Dia ingin lebih memperkuat media sosial, melalui web portal berisikan kegiatan sastra. Tentu saja dengan format kemasan dan konten yang kekinian seturut jaman.

Sampai saat ini, Heri terus konsisten dalam memasyarakatkan sastra. Dia melibatkan  jurnalis hingga sastrawan untuk hadir dalam setiap kegiatannya, sehingga membuat masyarakat semakin ingin mengenal sastra lebih dalam lagi. Sulit menemukan sesosok manusia yang memiliki cita-cita mulia dalam merawat mental bangsa layaknya Heri Chandra Santoso sekarang ini. Laki-laki sederhana nan murah senyum ini didalam tubuh kecilnya tertanam tekad besar untuk menghidangkan ilmu hingga ke pelosok desa. Baginya, hidangan yang lezat lewat menu yang ditawarkan dalam karya sastra turut memberi andil dalam mencerdaskan bangsa. Heri telah menjadi cahaya yang bersinar layaknya mercusuar ditengah masyarakat Lereng Medini. Langkah kecil Heri dan Sigit yang menjangkau akar rumput ini semoga bisa menularkan energi besar untuk komunitas-komunitas serupa  mengikuti jejaknya. Sehingga tidak ada lagi yang berkomentar, “Intinya apa nih berita?….males baca!”

 

Referensi :

https://www.beritasatu.com/nasional/592122/heri-chandra-santoso-bertahan-di-jalan-kesunyian

https://www.satu-indonesia.com/satu/satuindonesiaawards/finalis/menghidupkan-sastra-dari-desa-boja/

https://anugerahpewartaastra.satu-indonesia.com/2023

https://www.instagram.com/klmboja/

 

Tagged:
I'm a movie maniac and travelholic. I'm passionate at Art, Travel, Fashion and Culinary. This blog is a place where I want to share all the things I love to you! Keep stay here to know my Adventure of Life. Contact me: archa_bella@yahoo.com

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts